Suatu hari di tahun 1925, Irene Curie dengan mengenakan pakaian hitamnya yang longgar bergegas menuju Sorbonne untuk mempertahankan disertasi doktornya. Sekitar seribu orang memenuhi ruangan auditorium untuk melihat putri pertama Marie Curie disidang. Ibunya sendiri tidak hadir demi menghindari kemungkinan beralihnya perhatian para penonton dari anaknya ke dirinya. Tapi itu tidak menjadi masalah bagi Irene. Dia sangat percaya hasil penelitian yang dikerjakannya di Radium Institute (institusi penelitian nuklir yang didirikan oleh ibunya) akan memberikannya gelar doktor. Dia pun tak lupa mendedikasikan hasil karyanya ini untuk "Madame Curie dari anak dan muridnya".
Penelitian Irene berkisar di seputar partikel-partikel alpha yang dipancarkan oleh unsur polonium yang radioaktif. Polonium, elemen yang ditemukan oleh Marie Curie di tahun 1898, adalah unsur radioaktif yang sangat sering digunakan para peneliti saat itu untuk mempelajari inti atom. Kegunaannya sebagai bahan penelitian disebabkan oleh karena polonium hanya memancarkan satu jenis radiasi: partikel-partikel alpha (inti atom Helium). Biasanya mereka meletakkan polonium dekat bahan atau unsur lain yang tidak radioaktif dan mempelajari berbagai partikel yang terkeluarkan dari bahan tersebut.
Setelah acara mempertahankan disertasi selesai, Irene pulang ke Radium Institute disambut oleh para hadirin yang memberikan ucapan selamat di sebuah pesta taman. Gelar doktor yang diraihnya menjadi berita dunia. Bahkan
Irene meraih gelarnya bukan tanpa kerja keras. Selain minatnya pada sains sudah terlihat dari kecil dan keahliannya memikirkan solusi masalah dengan tenang dan mendalam seperti ayahnya, didikan ibunya berperan pula. Marie tidak senang dengan sistem pelajaran Perancis yang kaku kala itu. Dia tidak setuju anak murid harus berada di sekolah lama-lama dan kerjanya menghapal saja tanpa aktivitas fisik dan praktek laboratorium. Akhirnya, dengan beberapa koleganya sesama profesor Marie membuat sekolah koperasi sendiri. Masing-masing profesor mengajarkan satu atau dua mata pelajaran. Marie mengajarkan anak-anak profesor tersebut fisika eksperimen. Sekolah ini hanya bertahan dua setengah tahun, tapi Irene tetap diajarkan matematika oleh ibunya setelahitu.
Ketika Perang Dunia I meletus, Irene bekerja sebagai radiolog. Dia membantu memasang dan mengajarkan cara memakai mesin sinar X kepada para tenaga pembantu medis di rumah sakit-rumah sakit militer. Dia percaya dengan bantuan foto sinar X, ahli bedah dapat dengan cepat menolong serdadu yang terluka di
Setelah perang, Irene kembali dekat dengan ibunya dan bekerja di Radium Institute sambil menamatkan kuliahnya. Tidak berapa lama setelah Irene meraih S3, seorang perwira bernama Frederick Joliot datang dan melamar kerja di tempat Irene meneliti. Keduanya bertemu dan berkenalan. Walau Irene dan Fred memiliki kepribadian yang berlawanan, keduanya sadar mereka memiliki beberapa kesamaan. Pada tahun 1926, mereka pun menikah.
Di labotarium mereka bekerja menggunakan polonium (memproduksi dan mempersiapkannya untuk menjadi alat penelitian). Pada saat itu, dunia sains belum mengerti benar struktur inti atom. Belum ada yang mengerti dan menemukan netron. Ketika Irene mengandung anak keduanya, dia mencoba memecahkan masalah yang ditemukan oleh fisikawan Jerman Walther Bothe. Bothe telah membombardir elemen berilium (unsur metalik yang ringan) dengan partikel-partikel alpha polonium. Yang keluar dari berilium adalah pancaran radiasi yang sangat kuat sehingga bisa menembus timah sampai setebal 2 cm. Mulanya dia berpikir dia menemukan tipe baru sinar gamma.
Pasangan Juliot-Curie mengulang percobaan yang dilakukan oleh Bothe. Mereka membombardir lilin parafin (yang kaya akan proton) dengan partikel-partikel alpha polonium. Lilin ini mengeluarkan proton-proton dengan kecepatan sepersepuluh kecepatan cahaya. Mereka pun mengambil kesimpulan yang salah bahwa ini sinar gamma.
Ernest Rutherford, ketika membaca artikel Joliot-Curie tidak percaya kalau itu sinar gamma. "Sinar gamma tidak memiliki
Pasangan Joliot-Curie sebenarnya telah membuktikan keberadaan netron, tapi tidak dapat menjelaskannya. Sayangnya kejadian ini bukan yang terakhir kalinya mereka melewatkan kesempatan untuk mendapatkan hadiah Nobel.
Setelah netron ditemukan, fisikawan Enrico Fermi melihat kegunaannya sebagai alat peneliti inti atom. Netron adalah partikel yang tidak memiliki muatan. Jika netron dengan kecepatan tinggi dapat menembus inti atom, ia dapat mengeluarkan proton. Pasangan Joliot-Curie pun mengikuti jejak Fermi mempelajari inti atom dengan memborbardir inti atom unsur-unsur yang lain dan melihat jejak-jejak partikel yang dikeluarkan memakai
Beberapa waktu setelah itu, mereka meletakkan polonium di dekat lempengan tipis aluminium dan mengharapkan nukleus hidrogen yang keluar. Tetapi malah netron dan positron yang keluar. Ketika mereka melaporkan hasil eksperimen ini di Konferensi di Belgia pada bulan Oktober 1933, pernyataan mereka ini ditolak oleh Lise Meitner. Meitner mengaku melakukan percobaan yang sama, tapi tidak menemukan netron. Banyak yang hadir lebih percaya Meitner ketimbang Joliot-Curie. Pasangan tersebut sempat kecewa memang. Tapi Niels Bohr dan Wolfgang Pauli yang juga hadir memberikan semangat kembali ke mereka berdua.
Mereka akhirnya kembali ke
Inti aluminium telah menyerap partikel-partikel alpha dari polonium, mengeluarkan netron-netron dan dalam proses tersebut, dalam waktu yang singkat, berganti jadi fosfor. Fosfor ini fosfor buatan, jadi tidak stabil. Oleh karena itu intinya mengeluarkan positron dan akhirnya berubah lagi menjadi elemen silikon yang stabil. Mereka berhasil menemukan radioaktif buatan.
Untuk hasil penelitiannya ini, pasangan Joliot-Curie dinominasikan untuk penghargaan Nobel Fisika di tahun 1934, tapi tidak dapat. Mereka akhirnya berhasil meraih Nobel Kimia tahun 1935. Nobel Kimia mereka merupakan Nobel ketiga untuk keluarga Curie. Ketika suami adik Irene, Eve, seorang diplomat bernama Henry R. Labouisse, menerima Nobel Perdamaian atas nama UNICEF (organisasi PBB untuk anak-anak) pada tahun 1965, total Nobel untuk keluarga Curie menjadi empat.
0 comments